Pages

Wednesday 16 October 2013

Tips Menang Lomba Menulis


Menaklukkan Lomba Menulis

October 11, 2012 at 2:35pm
Oke, setelah menulis tentang lomba menulis yang harus kamu ‘waspadai’, sesuai janji, kali ini aku akan berbagi jurus-jurus untuk memenangkan lomba menulis.
Anggap kamu sudah mencermati pengumuman lomba dan memutuskan lomba tersebut layak kamu ikuti, berikutnya apa yang harus kamu lakukan untuk meraih kemenangan?

1.       Ikuti aturannya
    Ini mutlak bin wajib. Bila dalam aturan tertulis lomba diperuntukkan untuk peserta berusia 15-18 tahun, sementara usiamu 20 tahun, mau sebagus apa pun tulisanmu, kamu nggak bakal menang. Jadi, lupakan saja.
    Aturan lain bisa agak mendetail, seperti ukuran font dan cara pengiriman. Mungkin juga harus menyertakan label produk sponsor. Sedetail apa pun itu, ikutilah.

    2.       Cermati temanya
      Tema yang diajukan kadang bisa ditafsirkan seluas-luasnya. Misalnya, bisa saja tema suatu lomba adalah ‘cerita remaja’, tapi sesungguhnya yang dicari adalah cerita remaja yang bernuansa roman. Kalau sudah begini, cerita remaja yang bertema horor atau humor bisa terdepak dari arena. Nah, sebelum kamu ikutan, cermati lagi ya.

      3.       Kenali selera penerbit/ juri
        Apabila lomba tersebut diselenggarakan oleh sebuah penerbit atau media massa, coba cermati tema dan gaya bahasa yang disukai oleh penerbit atau media massa tersebut.
        Penerbit A mungkin lebih menyukai gaya bahasa yang santun, tapi tetap ngepop. Majalah Y lebih menyukai cerpen yang ‘nyastra’ dan bersetting kedaerahan. Penerbit Z lebih suka buku yang kontroversial, blak-blakan, dan meledak-ledak. Cobalah menyesuaikan tulisanmu dengan selera itu. Kalau memang sulit karena bertentangan dengan gayamu, ya jangan memaksakan diri. Misal, kamu tidak bisa menulis cerita lucu padahal yang dilombakan adalah cerpen humor. Kamu juga sudah berusaha keras melucu, tapi tetap nggak lucu. Kalau begitu terima saja fakta bahwa lomba itu bukan untukmu.
        Syukur-syukur bila kamu tahu siapa jurinya. Kamu bisa mencari tahu bagaimana selera si juri dan membuat tulisan yang kemungkinan besar disukainya.

        4.       Baca karya pemenang sebelumnya
          Ini masih ada hubungannya dengan poin sebelumnya. Bagaimana cara membaca selera penerbit dan juri? Bacalah buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit tersebut dengan genre yang sama. Misalnya, bila lomba yang ingin kamu ikuti adalah lomba novel ‘amore’ yang diadakan oleh Gramedia Pustaka Utama, bacalah buku-buku bergenre ‘amore’ yang diterbitkan oleh penerbit itu. Dengan demikian kamu tahu apa, sih yang dimaksud dengan ‘amore’. Bagaimana cirinya? Bagaimana gaya bahasanya?
          Untuk mendapat wawasan yang lebih luas, tidak ada salahnya membaca novel-novel roman  lain yang juga diterbitkan oleh Gramedia untuk sekadar untuk mengenal gaya selingkungnya. Gaya selingkung adalah gaya khusus yang dimiliki oleh penerbit tertentu. Gaya ini meliputi pemilihan kata, font pada kalimat pertama dalam setiap bab, format paragraf, hingga ejaan.
                          Bila lomba yang akan kamu ikuti adalah lomba rutin –tahunan, misalnya—maka usahakanlah untuk membaca karya-karya pemenang sebelumnya. Lomba Cerpen Femina, sebagai contoh, diadakan nyaris tiap tahun dan karya pemenang bisa dibaca di majalah atau internet. Makin banyak karya pemenang yang kamu baca, kamu akan makin mengenal selera juri dan kesempatanmu untuk menang makin besar.
                          Apabila jurinya adalah seorang penulis, ini juga bisa jadi jalan kemenangan. Coba baca tulisan-tulisan beliau. Dengan demikian kamu bisa ‘meraba’ seleranya.

          5.       Tampil Unik dan Kreatif
            Oke, aturan sudah kamu ikuti, tema sudah kamu kuasai, selera penerbit dan juri sudah kamu kenali, langkah selanjutnya apa dong? Tampilkan karyamu dengan unik dan kreatif! Ini penting karena dengan pembatasan tema, maka SEMUA karya akan menampilkan cerita yang nyaris sama. Terus, gimana dong agar karyamu mendapat hati para juri? Miminal dilirik agak lama, deh. TAMPIL UNIK, itu kuncinya. Ini bisa kamu lakukan dengan membuat sampul yang keren, membuat kalimat pembuka yang nendang, menulis sinopsis yang bikin penasaran, sampai membungkus naskahmu dengan kertas kado berwarna-warni. Yuk, peras kreativitasmu.

            6.       Beri bobot karyamu
              Jangan cuma sampulnya yang keren ya, isinya juga harus keren. Buatlah karyamu berbobot dan lebih bermutu daripada peserta lain. Kalau yang dilombakan adalah novel roman, coba deh bikin roman yang benar-benar bisa membuat membacamu jatuh cinta. Kalau yang dilombakan adalah cerita humor, bikinlah cerita yang benar-benar lucu. 

              7.       Usahakan yang terbaik
                Ini perlombaan dan yang menang adalah yang terbaik! Ya, ada faktor X dan selera juri subjektif yang berperan.  Tapi tetap ada norma-norma umum soal kualitas. Cerita yang menarik, plot yang rapi, dan ejaan yang benar adalah faktor-faktor penentu kemenangan. So, jangan abaikan detail ya, termasuk penomoran halaman, penulisan judul bab, sampai titik koma.

                8.       Beri waktu
                  Setiap lomba memiliki deadline. Ini membuat para peserta biasanya terburu-buru dan tidak teliti. Solusinya? Jangan buat tulisanmu mepet deadline. Dengan demikian kamu masih punya waktu untuk mengecek ejaan, memeriksa halaman, dan meminta pendapat dari teman. Selain itu, kamu juga nggak stres dalam menulis sehingga mungkin membuat kesalahan di sana-sini.

                  9.       Jangan lupa tulis identitas dengan jelas.
                    Oke, semua sudah kamu lakukan. Naskah sudah siap kamu kirimkan. Jangan lupa cantumkan identitasmu dengan jelas. Kamu ingin panitia bisa menghubungimu bila kamu menang, kan?

                    10.   Pilih-pilih.
                      Seperti yang kutulis dalam notes sebelumnya, berhubung saat ini banyak sekali lomba menulis dan rasanya tidak mungkin kita mengikuti semuanya, pilihlah lomba yang benar-benar ‘kredibel’ dan meningkatkan kemampuan ya.

                      Selamat berlomba, selamat berjuang, dan semoga menang! Kalau belum menang? Coba lagi, dong!

                      Friday 4 October 2013

                      Syarat Kesuksesan Penulis by Sinta Yudisia

                      Syarat Kesuksesan Penulis

                      October 3, 2013 at 9:49am



                      Gagal menulis? Ditolak berkali-kali? Buku jeblok di pasaran? Bosan jadi penulis?
                      Mungkin nasehat sedikit ini dapat membantu. Awalnya, hanya mendengar penjelasan QS 8 : 45-47. Tapi sungguh, Quran itu memang obat yang mak jleb di hati. Sungguh langsung mengena pada diri seorang penulis seperti saya yang kadang dihantui rasa lelah. InsyaAllah, tidak ingin meninggalkan dunia kepenulisan (karena saya cinta dan merasa menulis adalah katarsis). Tapi, salah satu kekalahan kita adalah semakin malas dan jauh dari target-target menulis.
                      Apa sih sebetulnya isi QS 8 : 45 -47?
                      Sebetulnya surat al Anfal banyak berisi penjelasan peperangan di zaman Rasulullah. Kalau begitu , apa relevansinya dengan zaman sekarang? Kita sudah tidak punya musuh Belanda, Portugis, Jepang lagi. Coba deh, baca lagi dan akan semakin faham bahwa “musuh” itu bisa bertransformasi menjadi makhluk yang banyak sekali ragamnya. Ingat Sadako Yamamura, si setan perempuan zaman modern ini kan?

                      Syarat Keberhasilan Penulis (QS 8 : 45-47)
                      1.      Tsabat / teguh
                      2.      Dzikir
                      3.      Taat kepada Allah dan Rasul
                      4.      Tidak berbantah (berpecah belah)
                      5.      Sabar
                      6.      Tidak sombong dan riya

                      Tsabat/teguh
                      Dalam QS 8 : 45, maksud ayat ini adalah tidak lari ke belakang ketika bertemu musuh, juga istiqomah. Dengan kata lain adalah tetap di tempat meski bertemu musuh. Ya, mungkin saya pernah mengalaminya.
                                  “Sinta, kamu itu bagus lho di fiksi sejarah,” saran beberapa teman dan editor.
                                  Tengok sana, tengok sini. Lho kok , penulis motivasi royaltinya gede ya? Lho kok, yang sekarang diminati adalah tulisan travelling ya? Lho…
                                  Akhirnya, kita pun ikut terbawa-bawa menulis hal-hal yang mungkin tidak sesuai kapasitas kita. Memang, saran mas Ali Muakhir, penulis butuh Wisata Karya. Bahwa ia akan bosan terus menerus menulis tema fiksi sejarah. Tapi hendaknya menulis bukan karena sekedar ingin loncat sana dan sini, tanpa punya prinsip apapun. Seharusnya seorang penulis punya spesialisasi sehingga ia akan memiliki brand image khusus, dalam istilah ekonomi pasar celah. Mungkin tidak berlimpah royalty, tapi bila kita memilih spesialisasi , akan dicari penggemar fanatic.
                                  Dan, tsabat / teguh ini biasanya dibutuhkan saat bertemu musuh.
                                  Silakan ke toko buku. Buuaanyakkk sekali musuh di sana.
                                  Penerbit A, B, C, P, Q, R. Penulis h,i,j,k,l,m,n. Belum lagi penulis dari luar macam Stephanie Meyer, JK Rowling, dll. Ada penulis senior yang terus menerus menerbitkan buku. Ada penulis yunior yang bagus-bagus pula karyanya. Ada penulis anak-anak. Dan…covernya cantik-cantik! Belum lagi penulis yang lebih professional, packaging nya bagus banget, ada tim manajernya, diundang kesana kemari bedah buku.
                                  Alamak…daku gak kuat menghadapi musuh sebanyak itu!
                                  Itulah makna tsabat/teguh.
                                  Bahwa kaki kita harus tetap di tempat meski rasa gentar menyerang.
                                  Memang, kenapa sih kita menulis? Karena ingin berbagi satu hikmah kepada orang lain. Selalu terngiang ucapan pak Maman S. Mahayana. Penulis itu orang yang luarbiasa bijak; sebab ia telah melampaui prosesi membaca. Ia menelaah, mengkaji, merenungkan, mentafsirkan ulang dengan kebijaksanaannya sendiri dan dengan pengalaman hidup yang telah dijalani, ia menuliskan dengan kekuatannya sendiri.
                                  Dengan kekuatan dahsyat seperti itu, seharusnya penulis memang harus memancangkan kaki tetap di tempat pertempuran.
                                  Ada 100 judul buku baru terbit setiap bulan. Ada puluhan penerbit baru yang muncul. Ada penulis-penulis muda yang harus diperhitungkan. Tapi kita tak akan mundur sebagai penulis, sebab tsabat atau teguh baru langkah awal  menuju medan peperangan yang besar.

                      Dzikir
                                  Sabar dan dzikir memiliki korelasi. Semakin banyak dan khusyuk dzikir, insyaAllah semakin kuat menanggung beban. Sabar itu bukan nerimo looooooh, diapa-apain juga mau. Ditipu, sabar. Diinjak, sabar. Ditinggal, sabar. Kalah, sabar. Sabar adalah terus maju dengan menanggung beban yang semakin besar sesuai dengan kapasitas dan tahapan langkah yang dijalani.
                                  Dzikir adalah salah satu penguat sabar.
                                  Apalagi manfaat dzikir?
                                  Tahukah kita, bahwa semua materi di alam semesta ini memiliki energy? Punya gelombang elektromagnetik? Bunga-bunga punya energy. Batu punya energy. Matahari punya energy. Badan kita punya energy. Atom punya energy. Dan…
                                  Kertas punya energy. Tinta punya energy.
                                  Itu sebabnya, Ibnu Sina berwudhu dulu sebelum menulis dan jika bingung, maka beliau sholat. Maka, tulisan para ulama punya energy luarbiasa untuk bisa sampai kepada kita. Tiap kali Sir Muhammad Iqbal berkata padaku di dalam puisinya,
                                  “…sudah berapa lama kau tidur di ranjang sutra?”
                                  Maka rasanya ia memarahiku karena tidur terlalu banyak. Boleh jadi, kekuatan tulisan Iqbal terletak pada kebiasaannya membaca Quran usai shubuh.
                                  Dzikir bukan hanya membuat pelakunya sabar untuk terus maju, menanggung beban yang semakin besar; tetapi juga merasuk menjadi energy ke tulisan-tulisan yang kita buat. Ucapkan Basmallah, sholawat, asmaul husna saat menulis. Buka dengan Dhuha atau Tahajjud. Perindah dengan baca Quran.
                                  Memangnya kalau sudah jadi penulis tidak butuh tsabat dan sabar lagi?
                                  “Sinta, kenapa sih tokohmu kok Gary Stu banget?”
                                  “Sinta, novelmu sangat bagus di awal. Tapi di tengah-tengah…ya ampun, melempem begini! Kamu seperti habis energy dan terburu-buru!”
                                  Setelah gelar dan profesi penulis melekat, apakah kaki kita tidak harus tetap terpancang? Apakah dunia menjadi lebih lunak dan berjalan tanpa gelombang sama sekali? Tetap saja ada.
                                  Lalu kita menjadi penulis andal. Tapi nggak bisa ngomong di depan orang, setengah mati keringetan! Saat diminta bedah buku, hanya aah…eehh…oooh…gitu…
                                  Sabar adalah menanggung beban yang semakin besar seiiring tahapan langkah yang ditapaki berikut. Saat jadi penulis pemula harus tsabat dan sabar untuk mengejar deadline, menghasilkan karya-karya terbaik. Saat menjadi penulis produktif harus siap berbicara dan mampu memotivasi orang lain. Saat menjadi penulis berkibar harus siap dikritik habis-habisan.
                                  Begitulah sabar dan dzikir saling berkelindan.

                      Taat kepada Allah dan RasulNya
                                  Saya sukses menulis karena saya memang pintar kok! Saya terkenal karena memang tulisan saya digemari!
                                  Benarkah?
                                  Sejak zaman dahulu kala, baik orang Jawa, China, Barat dan orang manapun dari belahan dunia mengenal prinsip “ Untung. Hoki. Lucky.” Ada banyak orang kaya, cerdas di dunia ini. Jadi kaya dengan bekerja, Jadi cerdas dengan belajar. Jadi untung dengan…?
                                  Hoki atau keberuntungan seseorang itu sesuatu yang ghaib. Sesuatu yang mirip tulisan saya yang sebelumnya “ Rezeki 600 juta dan 62 M”. Kadang tidak bisa ditafsirkan.
                                  Lho, penulis itu karyanya biasa-biasanya saja, baru juga 5 buku keluar, kok sudah difilmkan? Kok sudah bisa beli mobil dan rumah? Sementara karya saya sudah 30 lebih masih begini-begini saja.
                                  Tak ada yang bisa diutak atik manusia jika terkait hoki. Tetapi, setidaknya kita bisa berusaha mendekat ke arah keberuntungan dengan mencoba taat pada Allah dan Rasulnya. Taat pada yang wajib, itu terutama dan pasti. Sholat 5 waktu, puasa Ramadhan, menjauhi yang dilarang, dan seterusnya. Menambah dengan amalan-amalan sunnah seperti Dhuna, tahajjud. Ada banyak kisah pengusaha yang sukses dengan amalan rutin Dhuha, salah satunya Sandiago Uno. Ada seorang pemimpin yang sukses setelah mencanangkan gerakan dhuha dan sholat malam bagi diri dan anak buahnya.
                                  Kita, tak tahu dimana kunci hoki itu berada. Tapi saya ingat sekali dengan perkataan Aa Gym.
                                  “Kalau kita minta sesuatu sama Allah, dan tidak dikasih, emang itu karena Allah miskin? Allah itu Maha Kaya. Kalau “tangan”Nya masih tertahan di langit, coba cari terus apa yang kira-kira menahan rizqi.”
                                  Terus coba taat pada Allah dan RasulNya, dan kita tidak tahu di tanggal berapa bulan apa tahun keberapa hoki itu menjadi milik kita.

                      Tak Berbantah/Berpecah Belah
                                  Saya sudah pernah mengalami kegagalan ini.
                                  Ketika berdiskusi dengan teman-teman editor dan saya meminta program promosi. Saya ngotot buat bulletin-buletin mini, stiker-stiker untuk cover buku. Meski sebagian besar pakai kas sendiri, saya merasa yakin…ah, promosi ini pasti berjalan. Masa sih nggak bisa mendongkrak penjualan?
                                  Padahal bagian promosi sudah menasehati, “ mbak, sekarang promosi dengan memasang iklan yang mahal di koran atau majalah, gak efektif lagi. Yang efektif dan murah adalah lewat medsos dan komunitas-komunitas.”
                                  Apa yang dikatakan teman editor, teman bagian promosi, benar adanya. Ternyata, keberhasilan sebagai penulis jangan dianggap bahwa kita pun mampu meng handle semua. Ada orang-orang yang punya pengalaman lebih dan harus didengarkan, bukan dibantah sesuai kehendak kita sendiri.

                      Sabar
                                  Tsabat adalah kekokohan saat pertama kali bertemu musuh. Sabar adalah kekokohan saat berperang melawan musuh.
                                  Menjadi penulis yang tsabat dan teguh berarti harus sabar membaca untuk meningkatkan kapasitas diri, sabar menulis dengan tema-tema dan tingkat kesulitan yang lebih tinggi, sabar untuk menelaah karya sendiri dan merenungkan kritik orang atas tulisan-tulisan kita. Allah sungguh beserta orang yang sabar.
                                  Sebagai seorang penulis, kita semua mungkin sudah pernah mencicipi apa makna sabar.
                                  Sabar membuat outline. Sabar membuat sub-bab. Sabar mencari referensi. Sabar menulis kata demi kata, kalimat demi kalimat. Sabar meng edit. Sabar mencari endorser. Sabar mencari penerbit. Sabar dengan editor. Sabar dengan bagian pemasaran. Sabar menunggu waiting list. Sabar ketika ditolak. Sabar ketika karya terbit dan tak sesuai harapan. Sabar ketika royalty kecil. Sabar ketika buku write off. Sabar ketika kita memutuskan kembali untuk menulis buku baru.
                                  Meski,saya merasa sungguh hikmah dan karuniaNya.
                                  Andai seorang penulis dengan 1 buku kayaraya bisa beli 10 mobil, 10 rumah, 10 apartemen, royalty 10 turunan tak habis. Secara teori hierarki Maslow ia sudah tak butuh apa-apa lagi. Tak butuh peningkatan kapasitas diri. Tak butuh belajar. Tak butuh menulis lagi. Lalu tak ada penulis yang mau menulis buku ke 9, 10 sebab ia sudah sangat kaya hanay dengan 1 buku! Miskinlah ilmu pengetahuan sejak saat itu. Justru, kesabaran sebagai penulis dengan buku-buku write off memacu kita untuk menulis, belajar, menulis, belajar, menulis, belajar….dan seterusnya. Lalu, ummat ini pun dihiasi oleh pemikiran-pemikiran beragam yang keluar pada produk-produk tulisan mulai tulisan ulama, pemimpin, negarawan, sastrawan, pendidik, terapis dlsb

                      Tidak riya’ dan sombong
                                  Kembali pada hoki dan keberuntungan.
                                  Bukan hanya karena kita semata, sebuah buku sukses. Mari kita runut.
                                  Jika  memiliki otak idiot, debil, imbisil dengan point IQ 30 -50, maka kita tidak akan bisa berpikir abstrak dan menemukan kata-kata. Alhamdulillah, Allah berikan pada penulis IQ setidaknya 100 point. Jika kita CP atau cerebral palsy, autis, atau sekian banyak disorder dan tak bisa focus, tak mampu konsentrasi, tak bisa menggerakkan jemari; maka tak akan bisa mengetik atau menulis. Alhamdulillah, Allah berikan kesehatan pada 100 milyar sel saraf berikut normalnya neuro transmitter sehingga otak kita tidak salah mengartikan sensasi dan persepsi. Kita mampu membuat kalimat-kalimat yang dimengerti orang lain, mampu membuat kisah yang dapat dibaca orang dan memberikan makna. Bayangkan dengan orang schizofren yang dihantui halusinasi dan delusi, ia dapat merasakan musuh-musuh dalam ceritanya berlompatan keluar. Kita, mampu menyelesaikan sebuah cerita utuh sebanyak 200 halaman sejak daftar isi hingga daftar pustaka.
                                  Tidak ada alasan untuk menjadi riya dan sombong.
                                  Semua kita niatkan untukNya. Meski, sebagai manusia normal selentingan rasa itu tentulah ada. Ah, aku sudah jadi penulis yang lumayan nih, barusan menang lomba dan dipuji-puji dewan juri. Merasa tersanjung boleh, tapi jangan lupakan nama Allah di saat kita menerima kenikmatan. Riya dan sombong, seperti semut hitam di atas batu hitam, dalam kegelapan malam. Nyaris tak tampak. Maka dzikir semoga bisa menjadi pembersih bagi kotoran hati.

                      Nah, siap ya jadi penulis yang sukses, insyaAllah di dunia dan akhirat!